Beranda | Artikel
Bedah Mayat Dalam Tinjauan Hukum Islam
Senin, 16 Maret 2015

BEDAH MAYAT DALAM TINJAUAN HUKUM ISLAM

Oleh
Ustadz Muhammad Yasir, Lc

Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

مْ نَجْعَلِ الْأَرْضَ كِفَاتًا ﴿٢٥﴾ أَحْيَاءً وَأَمْوَاتًا

Bukankah Kami menjadikan bumi tempat berkumpul orang-orang hidup dan orang-orang mati? [al-Mursalât/77:25-26].

Di antara Ulama ahli tafsir, ada yang mengartikan ayat tersebut dengan menyebutkan, bahwa Allâh Azza wa Jalla menjadikan bumi dua bagian, yaitu bagian atas untuk dihuni orang yang hidup dan bagian bawah dihuni oleh orang yang mati.

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memerintahkan untuk segera dalam mengurus mayat manusia. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَسْرِعُوا بِالْجِنَازَةِ فَإِنْ تَكُ صَالِحَةً فَخَيْرٌ تُقَدِّمُونَهَا وَإِنْ يَكُ سِوَى ذَلِكَ فَشَرٌّ تَضَعُونَهُ عَنْ رِقَابِكُمْ

Segerakanlah penyelenggaraan jenazah. Karena, apabila jenazah itu orang shalih maka kalian telah berbuat baik untuknya. Sedangkan jika jenazah itu bukan orang baik maka agar kalian segera meletakkan benda jelek dari pikulan kalian. [HR al-Bukhâri, no. 1252].

Dalam prakteknya, adakalanya perintah ini tidak terlaksana. Mayat masih dibiarkan berhari-hari atau berminggu-minggu atau bahkan bertahun-tahun. Hal itu disebabkan beberapa alasan yang hendak dicapai. Salah satu dari sekian alasan yang ada, misalnya, untuk membedah mayat tersebut.

Tujuan dari pembedahan mayat, secara garis besar dapat dibagi menjadi dua. Pertama, untuk otopsi. Kedua, untuk pembelajaran calon dokter.

Otopsi sendiri dilakukan untuk dua tujuan. Tujuan pertama, untuk hukum pidana, seperti, otopsi forensik yang dilakukan untuk mengetahui penyebab kematian sehingga mungkin menjadi masalah pidana. Agar memungkinkan mencari tersangka pembunuhan tersebut dengan tujuan bisa menegakkan hukum Allâh Azza wa Jalla secara benar dan tepat. Tujuan kedua, yang disebut otopsi klinis atau akademik. Ini dilakukan untuk mencari penyebab medis kematian. Digunakan dalam kasus kematian yang tidak diketahui atau tidak pasti. Otopsi ini biasanya dilakukan bila terjadi wabah penyakit baru yang menyebabkan kematian tanpa diketahui jenis penyakit yang membunuhnya, maka diperlukan usaha untuk mengetahui penyebab kematian secara pasti. Dan salah satu cara yang harus ditempuh adalah dengan cara membedah mayat.

Pembahasan ini sangat penting untuk diketahui hukumnya, karena pembedahan mayat tersebut sudah merupakan perlakuan yang biasa didengar, terlebih lagi bila pembedahan itu bertujuan untuk belajar bagi calon dokter. Banyak mayat yang jadi sasaran perlakuan ini, bahkan biasanya menjadi sarana untuk memperjualbelikannya.

Masalah yang timbul dari fenomena tersebut adalah mengenai perlakuan tidak wajar terhadap mayat manusia dengan cara mengutak-atik organ tubuhnya. Padahal, ini tidaklah selayaknya diperlakukan pada jasad manusia. Terlebih lagi bila ditinjau dari hukum Islam.

Berikut dalil-dalil dan pendapat para Ulama tentang hukum perlakuan pada mayat manusia.

Firman Allâh Azza wa Jalla :

وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَىٰ كَثِيرٍ مِمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلًا

Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rizki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan. [al-Isrâ`/17:70]

Ayat ini menunjukkan bahwa jasad manusia itu mulia. Dan kemuliaan ini berlaku baik dalam keadaan ia hidup maupun sudah mati. Sedangkan dalam proses bedah mayat, terjadi perlakuan yang tidak mulia terhadap mayat, seperti dipotong daging atau tulangnya, diangkat organ tubuh, dan perlakuan lain yang semisalnya.

Disebutkan dalam hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , apabila Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus pasukan perang, beliau akan menasihati pemimpin pasukannya secara pribadi untuk teguh bertaqwa pada Allâh Azza wa Jalla , serta menasihati seluruh pasukannya dengan pesan yang baik, seraya berkata :

اغْزُوا بِاسْمِ اللهِ فِي سَبِيلِ اللهِ، قَاتِلُوا مَنْ كَفَرَ بِاللهِ، اغْزُوا وَلَا تَغُلُّوا، وَلَا تَغْدِرُوا، وَلَا تَمْثُلُوا

Berangkatlah berperang di jalan Allâh Azza wa Jalla dengan menyebut nama Allâh Azza wa Jalla . Bunuhlah orang-orang kafir. Perangilah mereka. Janganlah kamu berbuat curang dan jangan melanggar perjanjian, dan jangan pula kalian memotong-motong mayat. [HR Muslim, no. 1731]

Hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

كَسْرُ عَظْمِ الْمَيِّتِ كَكَسْرِهِ حَيًّا

Memecahkan tulang mayat hukumnya seperti memecahkan tulangnya ketika ia masih hidup. [HR Abu Dawud, no. 3209. Hadits ini dinyatakan shahîh oleh Albani dalam kitabnya, Irwâul Ghalîl, 3/213]

Dalam riwayat Imam Ahmad terdapat sedikit perbedaan teks, yaitu: “memecahkan tulang mayat orang Mukmin hukumnya seperti memecahkan tulangnya ketika ia masih hidup”.

Pendapat Para Ulama
Kami hanya akan membawakan ucapan mereka mengenai perlakuan sewajarnya terhadap mayat orang kafir. Sedangkan untuk mayat orang Muslim, kami rasa tidak perlu dibahas lagi. Karena, kita mengetahui bahwa mayat Muslim wajib diperlakukan dengan istimewa, dari awal dimandikan sampai proses pemakaman; semua wajib dijalankan sesuai dengan tata cara tertentu yang sudah diatur olah syariat.

Sedangkan perlakuan terhadap mayat orang kafir, berikut pendapat dari para Ulama.

Menurut madzhab Ulama Hanafiyah, Mâlikiyah, Syâfi’iyyah, Hambaliyah dan Zhâhiriyah, mereka sepakat, bila seorang kafir dzimmi meninggal di tengah-tengah kaum Muslimin, sedangkan di tempat itu tidak ada orang kafir dzimmi lain yang mengurus mayatnya, maka kaum Musliminlah yang menguburkannya, seperti ia diperlakukan dengan baik pada masa hidupnya. Hanya saja madzhab Hanafiyah menambahkan, walaupun ia dikuburkan namun tidak diperlakukan seperti mayat orang Mmuslim; maksudnya, tidak dikafani dan tidak dibuatkan lahad, hanya dimasukkan begitu saja ke dalam kubur.

Adapun perlakuan terhadap mayat kafir harbi dan orang murtad, maka madzhab Syâfi’iyah menyatakan tidak wajib bagi kaum Muslimin menguburkan mayat mereka. Namun, bila hendak dikuburkan juga tidak mengapa dengan tujuan agar kaum Muslimin tidak terganggu dengan bau busuk bangkai mereka.

Sedangkan madzhab lainnya (Hanafiyah, Mâlikiyah, Hambaliyah dan Zhâhiriyah); bahwasanya pendapat mereka tetap sama dalam hal perlakuan terhadap mayat kafir harbi atau orang murtad, sebagaimana pendapat mereka dalam perlakuan terhadap mayat kafir dzimmi.[1]

Demikian beberapa dalil yang menunjukkan perlakuan selayaknya pada mayat manusia.

Hukum Bedah Mayat
Dalam permasalahan ini, Majelis Ulama Besar di Saudi Arabia telah melakukan pembahasan mengenai hal ini dalam muktamar mereka ke sembilan tahun 1396 H / 1976 M. Pertemuan itu melahirkan keputusan sebagai berikut.

Untuk keperluan otopsi, baik otopsi forensik maupun otopsi medis, maka Majelis Ulama Besar memutuskan, boleh membedah mayat untuk keperluan tersebut. Dengan pertimbangan, adanya maslahat yang besar dibalik otopsi ini. Karena, otopsi forensik bertujuan untuk menegakkan hukum pidana sehingga terciptanya keamanan dalam masyarakat. Sedangkan otopsi medis, bertujuan terjaganya masyarat dari penyakit mewabah.

Menurut pertimbangan majelis, kedua maslahat ini lebih besar dibandingkan dengan mafsadat membedah mayat. Jadi, bedah mayat untuk tujuan ini dibolehkan walaupun mayat tersebut adalah mayat orang muslim ataupun mayat orang kafir ma’shûm (yang dilindungi oleh hukum Islam, seperti kafir dzimmi).

Adapun jenis bedah mayat yang kedua, yaitu untuk belajar. Dalam hal ini majelis mempertimbangkan beberapa hal, di antaranya:

  1. Bahwa syariat Islam datang dengan tujuan membawa maslahat serta memaksimalkannya; dan menolak mafsadat serta meminimalkannya.
  2. Bedah mayat untuk belajar medis ini ada maslahat yang besar, seperti yang sudah diketahui terkait dengan kemajuan dalam ilmu medis.
  3. Belum adanya hewan yang bisa menggantikan jasad manusia guna memenuhi kebutuhan pembelajaran ini.
  4. Syariat Islam menghormati kemuliaan jasad muslim, baik ketika masih hidup maupun ketika sudah mati. Sedangkan proses bedah mayat pasti memperlakukan jasad tidak sesuai dengan kehormatannya.
  5. Tidak adanya keperluan yang mendesak untuk membedah mayat orang muslim karena memungkinkan untuk memperoleh mayat orang kafir yang tidak ma’shum.

Dengan pertimbangan di atas, maka majelis memutuskan tidak boleh membedah mayat orang Muslim ataupun orang kafir yang ma’shum untuk pembelajaran ilmu kedokteran. Yang digunakan cukuplah mayat orang kafir tidak ma’shûm, seperti kafir harbi atau orang yang murtad.

Demikian keputusan Majelis Ulama Besar Saudi Arabia tersebut.

Senada dengan pendapat majelis ini, Syaikh Abdul-Aziz bin Baz rahimahullah juga berfatwa yang sama mengenai hukum bedah mayat untuk keperluan pembelajaran ilmu kedokteran. Beliau hanya membolehkan pembedahan mayat kafir harbi dan mayat orang murtad saja.[2]

Akan tetapi, yang sangat penting untuk diperhatikan oleh dokter atau pelaksana bedah mayat lainnya, ialah landasan dibolehkannya membedah mayat karena faktor yang mendesak kebutuhan. Oleh karena itu, apabila suatu saat kebutuhan ini telah terpenuhi, maka kembali kepada hukum asal bahwa seluruh jasad manusia tidak boleh dipotong-potong. Pendapat ini disampaikan oleh Syaikh Dr. Muhammad bin Muhammad Mukhtar Syinqithi dalam disertasi doktoralnya, Ahkâm Jirâhah Thibbiyyah wal-Atsar Mutarattibah ‘Alaiha (hukum-hukum Islam seputar operasi medis), halaman ke-112.

Begitu pula kaidah ini seharusnya diterapkan dalam mengotopsi jenazah seorang Muslim; apabila sebab kematian dapat diketahui dengan mudah tanpa harus otopsi, atau hanya perlu pembedahan kecil, maka tidak boleh dibedah melebihi kebutuhan yang sebenarnya diperlukan.

Dalam keputusan Majelis Ulama Besar Saudi Arabia memuat beberapa alasan yang memperkuat maslahat untuk membolehkan membedah mayat. Di antara alasan tersebut sebagai berikut.

Pertama, Dibolehkan membedah mayat wanita hamil untuk mengeluarkan janin yang kemungkinan besar akan hidup. Memang permasalahan ini sudah diperdebatkan oleh Ulama dahulu, namun, menurut hemat kami, pendapat paling kuat adalah yang membolehkannya.[3]

Kedua, Dibolehkan memakan mayat manusia dalam keadaan kelaparan yang mendesak.

Dalam Raudhatuth-Thâlibin (2/551) disebutkan, “Apabila orang kelaparan sedangkan ia tidak mendapatkan makanan kecuali mayat orang ma’shûm, maka halal baginya untuk memakan mayat tersebut … walaupun boleh, namun hanya dimakan sebatas untuk menyambung hidup (tidak sampai kekenyangan, Pen.) … daging mayat itu pun tidak boleh dimasak ataupun dipanggang, harus dimakan mentah-mentah. Karena, dimakan dengan cara itu sudah cukup untuk menyambung hidup…”.

Adapun masalah larangan memutilasi mayat yang disebutkan dalam hadits di atas, ternyata, ada kalanya dibolehkan kalau memang diperlukan. Seperti hukuman yang dijatuhkan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada kaum Uraniyyin, dipotong tangan dan kaki mereka, ditusuk mata mereka sampai buta dan dibiarkan sampai mati di bukit batu kota Madinah (HR Muslim, no. 1671).[4] Atau bisa juga dikatakan, bahwa larangan memutilasi mayat, kalau hanya untuk main-main, bukan untuk suatu kebutuhan mendesak, seperti memotong telinga untuk gantungan kunci dan lain-lain. Sedangkan dalam kasus ini, bedah dilakukan untuk suatu maslahat besar.

Wallâhu ‘alam.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03-04/Tahun XVII/1434H/2013M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
________
Footnote
[1]. Lihat kitab Ahkâmul Maqâbir fî Syari’ah Islâmiyah, hlm. 232-233.
[2]. Majmû’Fatâwâ, Syaikh Bin Baz, 22/349-350.
[3]. Ahkâm Jirâhah Thibbiyyah wal-Atsar Mutarattibah ‘Alaiha, hlm. 216.
[4]. Ahkâm Jirâhah Thibbiyyah wal-Atsar Mutarattibah ‘Alaiha, hlm. 118-119.


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/4096-bedah-mayat-dalam-tinjauan-hukum-islam.html